Emotianally Aware Machine : Apakah bisa menjadi disruptive Innovation disaat dan pasca pandemi?
Inovasi disruptif atau disruptive innovation adalah inovasi yang bisa membuat pasar baru, atau menggantikan pasar yang lama dengan ide bisnis yang segar dan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Inovasi yang terkadang dikatakan sebagai inovasi yang radikal ini bahkan bisa mengganggu dan merusak pasar yang telah ada. Sering kali inovasi ini disebut sebagai inovasi yang mengganggu tataran industri konvensional. Hal ini dikarenakan inovasi disruptif kerap mencetuskan ide mengenai produk atau layanan baru yang tidak terpikirkan dan menciptakan jenis konsumen baru. Pada akhirnya, adanya inovasi ini membuat pasar lama turun harga dan terpuruk.
Pada awalnya Istilah disruptive innovation sendiri pertama kali dicetuskan oleh Clayton M. Christensen, seorang ekonom dari Harvard Business School pada tahun 1995. Ia mengatakan bahwa inovasi disruptif (disruptive innovation) adalah inovasi yang membantu menciptakan pasar baru, mengganggu atau merusak pasar yang sudah ada, dan pada akhirnya menggantikan teknologi terdahulu tersebut.
Kemunculan inovasi ini bisa dibilang menjadi momok yang sangat besar bagi para pengusaha konvensional dan kaku. Hal ini dikarenakan, industri konvensional tersebutlah yang paling terancam keberadaannya dengan banyaknya inovasi yang akan mengganggu pasar yang mungkin telah mereka bangun. Bagi bisnis yang tidak mampu bersaing dan bertahan, kemunduran perusahaan merupakan hal yang niscaya dialami. Namun melihat saat ini dengan teknologi yang semakin maju membuat proses disrupsi semakin cepat dan beragam.
Berbicara tentang disruptive innovation, tentunya ada beberapa indikator apakah sebuah inovasi itu bisa tergolong kedalam inovasi disruptif atau tidak. Indikator tersebut diantaranya adalah Bukan dikembangkan linear dari teknologi sebelumnya, Inovasi lama terlalu canggih,mahal dan kompleks namun solusi yang lebih sederhana dan murah (low-end consumer) serta bukan selalu inovasi yang lebih canggih namun lebih sering lebih inferior dalam fungsionalitas.
Selanjutnya, berbicara tentang disruptive innovation, tentunya tidak selalu mengenai bisnis. Namun juga tentang berbagai macam permasalahan yang biasanya dapat diintegrasikan menjadi satu solusi. Dalam era pandemic covid-19 yang penuh ketidakpastian, tentunya menjadi tantangan bagi berbagai pihak untuk bangkit berinovasi dan menciptakan pasar baru serta menjawab berbagai permasalahan yang ada. Karena pada kenyataannya, dari berbagai pihak yang berupaya untuk berinovasi terhadap perusahaan/Lembaga/bisnisnya menjadi disruptive innovation ternyata belum dapat dikategorikan sebagai disruptive innovation.
Pada kesempatan ini mari kita menganalisa tentang salah satu rancangan inovasi teknologi berupa Emotionally Aware Machines yang sedang dikembangkan oleh berbagai pihak salah satunya adalah perusahaan Toyota. Apakah inovasi tersebut dapat dinyatakan sebagai disruptive innovation pada era dan pasca pandemi covid-19? Mari kita Analisa Bersama.
Pada dasarnya Emotionally Aware Machines telah diusung sejak tahun 2006 di Amerika Serikat. ilmuwan telah mengembangkan komputer prototipe yang dapat ‘membaca’ pikiran pengguna dengan menangkap dan kemudian menafsirkan ekspresi wajah — seperti konsentrasi, kemarahan, atau kebingungan. Dalam eksperimen menggunakan aktor komputer hasilnya adalah akurat 85% dari waktu meskipun mengalami penurunan menjadi 65% dengan aktor manusia. Teknologi ini menimbulkan sejumlah masalah terkait privasi, yaitu paling tidak mengenai pengumpulan data pribadi yang sangat sensitif. Toyota diduga sudah bekerja sama dengan Profesor Peter Robertson, sang penemu, untuk menghubungkan keadaan emosional pengemudi kendaraan dengan berbagai kontrol keselamatan dan fitur sensitif suasana hati di dalam mobil. Pelanggan lain mungkin termasuk perusahaan asuransi yang ingin menindak klaim yang tidak jujur, bank yang menargetkan penipuan identitas, guru yang mencoba mengajar (apakah siswa benar-benar mengerti?) atau pemerintah yang ingin mengidentifikasi teroris atau penipu jaminan sosial. Di masa depan, perusahaan mobil atau dewan lokal bahkan dapat menyesuaikan peta jalan atau papan petunjuk arah dengan tingkat agresi masing-masing pengemudi. Namun, yang paling menarik adalah apakah kita dapat menghubungkan kepekaan suasana hati dengan produk-produk seperti radio dan televisi sehingga mereka dapat mendengarkan musik atau program yang ‘menyenangkan’. Ada juga mengenai bagaimana proses penawaran produk dan bahkan deskripsi produk dengan keadaan emosional pelanggan mereka.
Berdasarkan syarat disruptive innovation pertama yaitu inovasi bukan dikembangkan linear dari teknologi sebelumnya. Tentunya kita sepakat bahwa teknologi ini adalah suatu terobosan baru yang tentunya belum pernah dikembangkan sebelumnya. Maka untuk syarat pertama, inovasi ini dapat memenuhi syarat.
Kemudian, berdasarkan syarat disruptive innovation kedua yaitu Inovasi lama terlalu canggih, mahal dan kompleks namun solusi yang lebih sederhana dan murah (low-end consumer). Dalam inovasi emotionally Aware Machine ini termasuk kedalam inovasi yang berada dalam tahap eksperimen. Tentunya jika suatu inovasi masih berada di tahap eksperimen dan horizon 2, maka tentunya jika suatu saat nanti inovasi ini benar ada dan diwujudkan di lingkungan masyarakat maka diperlukan biaya yang besar dalam hal eksperimen, kemudian pengembangan teknologi, masa percobaan, dan lain-lain.
Terakhir, berdasarkan syarat disruptive innovation yang ketiga yaitu bukan selalu inovasi yang lebih canggih namun lebih sering inferior dalam fungsionalitas. Dalam hal ini tentunya kita dapat akui bahwa inovasi ini adalah suatu inovasi yang lebih dan sangat canggih jika memang benar ada. Namun jika kita melihat dari sisi inferior dalam fungsionalitas, apakah inovasi ini benar dibutuhkan masyarakat atau pihak tertentu? Apakah calon pengguna mau untuk menggunakan? Apakah produk yang ditawarkan dapat menjamin privasi dan keselamatan pengguna? Apakah produk yang ditawarkan adalah menjawab dari permasalahan yang dialami oleh calon pelanggan? Atau hanya sekedar berusaha memberikan solusi atau inovasi canggih namun belum selesai dalam hal memvalidasi target, masalah dan kebutuhan pengguna? Pendapat saya masih terdapat banyak pertimbangan dari berbagai sisi mengenai inovasi ini yang dilansir dari beberapa laman pun terdapat banyak hal yang masih menjadi pro dan kontra. Sehingga belum dapat memenuhi syarat disruptive innovation ketiga.
Jika kita kaitkan dan Tarik kesimpulan, inovasi Emotionally Aware Machines yang saat ini berada di kategori tabel periodik disruptive innovation horizon 2, dapat dikatakan belum bisa menjadi suatu disruptive innovation untuk masa pandemic saat ini. Karena jika ditinjau dari fungsionalitas produk dan low-end consumer , masyarakat belum terlalu membutuhkan. Karena pada dasarnya Indonesia masih tergolong sebagai negara berkembang. Dimana masyarakatnya tentunya belum seluruhnya bisa beraktivitas sehari-hari penuh dengan teknologi. Apalagi inovasi yang ditawarkan sangat canggih, beresiko, mahal, dan belum memenuhi kebutuhan masyarakat. Karena dapat kita sadari di tengah pandemic seperti ini masyarakat lebih membutuhkan kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, dan Pendidikan yang berkualitas.
Namun beda halnya jika inovasi ini akan diterapkan pasca pandemi. Inovasi ini berpeluang untuk tergolong sebagai disruptive innovation, dan diterima serta memenuhi kebutuhan masyarakat jika bangsa Indonesia semakin maju dan baik akan pemikirannya, perilakunya, kemampuannya, maupun kualitas masyarakatnya. Tentunya juga dengan catatan bahwa produk inovasi ini dapat dijangkau oleh calon pengguna, bahkan calon pengguna dari kelas atas sampai kelas bawah. Kemudian juga harus sudah terverifikasi dan melakukan proses validasi yang benar. Mulai dari validasi masalah dan kebutuhan calon pengguna, menganalisis pola, perilaku atau kebiasaan masyarakat di suatu wilayah atau negara, kemudian melakukan testing, dan proses lainnya.